Wasiat Buat Kaum Materialis
Kamis, 27 Februari 2014
1
komentar
Wasiat Buat Kaum Materialis
Salah seorang sahabat yang amat dikenal kezuhudannya adalah Abu Dzar al-Ghifari. Khalid Muhammad Khalid, dalam kitab rijal Haul al-Rasul (Biografi 60 sahabat Nabi, edisi terjemahan), menyebut bahwa Abu Dzar berasal dari Bani Fhifar. Ghifar adalah suatu kabilah yang tidak mengenal siapa sasarannya ketika membegal di jalanan. Mereka sangat dikenal sebagai biang keladi perampokan ilegal. Mereka adalah sahabat malam dan kegelapan. Celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan orang-orang Ghifar dalam perjalanan malam.Namun abu Dzar menghadap Nabi SAW menyatakan keislamannya. Ia juga berhasil berdakwah di kabilahnya sehingga bani Ghifar menjadi muslim yang taa, tak lagi dikenal sebagai kelompok penjagal, mengedepankan materi demi mencapai kenikmatan duniawi.
Dewasa ini, pola hidup yang dialami bani Ghifar sebelum keislaman mereka masih banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Demi memenuhi syahwat duniawi, mereka halalkan segala cara. Tidak saja milik pribadi seseorang, kekayaan negara pun bisa mereka rampok. Tidak saja di tengah malam yang kelam, di tengah siang bolong pun mereka beraksi.
Lalu kenapa Abu Dzar berhasil mengubah sikap kaumnya menjadi taat kepada Allah? Ternyata ditemukan beberapa hadis tentang adanya wasiat Rasulullah SAW kepada Abu Dzar yang menjadi pendorongnya untuk berdakwah dan mengubah perilaku diri dan masyarakatnya.
Satu diantara hadis tentang wasiat itu adalah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ath-Thabrani, Ibn Hibban dan lainnya, dimana Abu Dzar r.a. berkata:”Kekasihku (Rasulullah) SAW berwasiat kepadaku dengan 7 (tujuh) hal.”
Adapun tujuh wasiat itu adalah: pertama, “mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka.” Rasulullah SAW dikenal sangat dekat dengan orang-orang lemah (mustadh’afin). Bahkan sahabat-sahbatnya di era awal (assabiqun al-awwalun) kebanyakan mereka adalah berasal dari kelompok lemah. Karena itu ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW mendapat respons yang sangat besar dikala itu. Sebab, masyarakat Arab yang dikenal dengan era Jahiliyah itu menampilkan strata sosial dengan pemisahan yang demikian tegas antara kelompok kaya dan miskin. Penindasan kaum kaya lagi kuat begitu nyata terhadap kaum yang lemah, bahkan mereka diperbudak, dirampas kebebasan dan hak-hak kemanusiaannya.
Di era modern dewasa ini, kesenjangan sosial masih saja terasa. Orang-orang lemah lagi miskin masih terlihat jelas di seantero nusantara ini. Maka cintailah mereka dengan memberikan bantuan, perhatian dan juga mendoakan mereka agar terbebas dari kemiskinan.
Para pemimpin sejatinya berpihak pada mereka, berupaya mengangkatnya dari penderitaan dan kesusahan, baik yang diakibatkan oleh kemiskinan maupun kebodohan. Bukan justru menjadikan mereka objek sekaligus alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan mengatasnamakan “rakyat” tetapi justru merampas hak-hak mereka. Bukankah korupsi bentuk konkrit dari penindasan dan perampasan hak-hak si miskin?
Kedua, “lihatlah orang yang berada di bawah dan tidak melihat kepada orang yang berada di atas.” Tidak bisa disangkal, salah satu penyebab kerakusan manusia adalah ketika membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih sukses dalam urusan duniawi. Akibatnya, rasa dengki pun tumbuh subur. Mereka cenderung menghalalkan segala cara agar bisa sebanding dengan yang di atas. Jika keinginan itu tidak tercapai, maka mereka cenderung mengalami stres hingga depresi. Kebahagiaan dan ketenangan hidup pun tak lagi mereka rasakan.
Karena itu, perbanyaklah melihat ke bawah. Berbagai persoalan hidup yang sulit dihadapi dengan lapang dada (sabar dan ridha). Sebab ujian yang ditimpakan dalam setiap kehidupan tidak saja kita sendiri yang mengalaminya, tetapi masih ada orang lain yang lebih menderita; jadikanlah mereka sebagai pelajaran. Maka hanya sabar dan syukur yang menjadi pilihan. Dengan begitu pola hidup materialis dan hedonis tak lagi menjadi tujuan dan kebanggaan.
Ketiga, “menyambung silaturrahim meskipun mereka berlaku kasar pada-ku.” Kemajuan suatu bangsa tidak akan dapat terwujud tanpa persatuan dan kesatuan. Namun untuk merajut persatuan dan kesatuan itu tidaklah mudah. Ada saja orang-orang yang berlaku dan berkata kasar sehingga mengakibatkan perpecahan antara sesama. Karena itu, Rasul mewasiatkan agar tetap menyambung silaturrahim dengan mereka.
Di sinilah dibutuhkannya jiwa yang lembut lagi pemaaf. Demi mengedepankan persatuan dan kesatuan, seseorang yang mengaku umat Muhammad dan mencintainya, harus rela memaafkan dan membuang rasa dendam. Dan sifat itu pulalah yang dimiliki oleh hamba yang bertakwa (QS. Ali Imran/3:134).
Keempat, “memperbanyak ucapan la haula wala quwwata illa billah” (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah). Ucapan ini mendidik setiap mukmin untuk menyandarkan dirinya hanya kepada Allah SWT. Setiap mukmin haruslah bertawakkal kepada-Nya.
Di satu sisi mereka tetap tekun berusaha, tetapi hati mereka tetap bergantung pada Allah. Haruslah disadari bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, hanya Allah-lah yang dapat memberikan pertolongan.
Dampak dari sikap tawakkal seperti ini adalah senantiasa mengingat Allah di setiap aktivitas yang dilakukannya. Ketika muncul kondisi yang menggoda mereka untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Allah, di saat itu mereka akan mengingat Allah sehingga godaan itu dihindarkan. Sebab itu mereka senantiasa dicintai Allah (QS. Ali Imran/3: 159).
Kelima, “katakanlah kebenaran meskipun pahit.” Ketika kebenaran diperjuangkan, kebathilan pun selalu mengiringinya. Maka butuh keberanian (syaja’ah) untuk mengatakan dan memperjuangkan kebenaran tersebut. Namun ketika kebenaran itu tak lagi populer, akan ditemukan sejumlah rintangan. Di sinilah dibutuhkan pengorbanan, meskipun resiko yang diperoleh sangat “pahit” dan menyakitkan.
Keenam, “tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah.” Dalam memperjuangkan kebenaran, celaan dan cercaan kerap kali menghadang. Karena itu, Rasul mewasiatkan agar tetap berani dan tidak takut (jubun) dalam berdakwah, mengajarkan ajaran Allah.
Kegiatan dakwah tidak boleh terhenti hanya karena mendapat cacian. Perjuangan dakwah juga tidak boleh menyimpang karena mendapat dukungan dan pujian dari pihak-pihak tertentu. Dakwah dilakukan mesti tetap konsisten dan lurus atas niat ikhlas karena Allah semata. Hanya Allah-lah yang berhak menganugerahkan kemuliaan bagi hamba-hambaNya yang selalu berjuang dan menolong agama Allah (QS. Muhammad/47:7).
Ketujuh, “jangan meminta-minta sesuatu pun kepada manusia.” Sebagai hamba yang diperintahkan bertawakkal kepada-Nya, maka seorang mukmin tidaklah patut untuk meminta-minta kepada sesama manusia; apalagi menyerahkan diri kepada sesama manusia.
Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam kitabnya “Izalat al-Dhalal fi Tahrim al-Idza’ wa al-sual” menegaskan bahwa ada 3 (tiga) kemudaratan meminta-minta. Pertama, orang yang meminta-minta itu memperlihatkan jelas kepada Allah atas kurangnya nikmat yang diterimanya. Kedua, meminta-minta merupakan perbuatan yang menghinakan diri si peminta-minta, dan orang mukmin sejati tidak akan pernah merendahkan dan menghinakan dirinya di depan orang lain. Ketiga, membuat orang yang memberi merasa kesusahan atas permintaan tersebut dikarenakan si peminta-minta tidak pantas untuk diberi karena keadaannya tidak dalam kesusahan dan pada sisi lain merasa iba kepada si peminta-minta tersebut.
Namun Syekh Sulaiman juga mengemukakan bahwa meminta-minta itu dibolehkan dalam keadaan terpaksa, seperti orang yang sangat lapar dan takut mati karena kelaparan tersebut, akan tetapi perilaku meminta-minta mesti dijauhi sedapat mungkin.
Meminta-minta juga tidak saja dipahami dalam konteks orang-orang miskin yang meminta-minta di jalanan. Tetapi lebih luas dari itu, larangan ini juga berlaku pada orang-orang yang meminta jabatan pada seseorang. Rasul bersabda:”Wahai Abdurahman Ibn Samurah, janganlah engkau meminta jabatan! Sungguh bila engkau diberi jabatan karena memintanya niscaya engkau akan dibuat tergantung (susah) kepadanya. Sedangkan bila engkau diberi tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menunaikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tujuh wasiat di atas pada hakikatnya tidak saja berlaku pada Abu Dzar saja, namun juga kepada semua umat manusia, terutama orang-orang yang mengaku sebagai umat Muhammad. Tujuh wasiat itu masih tetap relevan, terutama bagi masyarakat modern yang kerap kali terjerumus pada kehidupan yang materialis, hedonis dan melupakan hari akhirat. Wallahu a’lam.(*)
Sumber:
Dari koran Padang Ekspres, Jum'at 21 Februari 2014 Halaman 4; Penulis, Muhammad Kosim (Kasi PAI pada Pendidikan Menengah, Bidang PAKIS Kanwil Kemenag Sumbar), ditulis ulang oleh Admin
Baca Selengkapnya ....